Translate

Sabtu, 09 Januari 2016

Si siang


Panasnya disini. Riuhnya orang lain, yang jelas tak akan membuat berubah hidup ini. Aku dengarkan lagu yang bisa meneduhkan suasana, ya lagu payung teduh. Orang berlalu lalang. Entah kemana tujuan nya dan entah hasrat apa yang mengantarkan orang orang itu untuk menuju tujuan yang jelas aku belum ketahui.

Jika di darat, sekelilingku hanya semut yang berjalan, dan saling menyapa ketika bertemu semut yang lainnya. Tapi semut yang dianggap jari kelingking akan takut jika bertemu dengan ibu jari kita yang dianggap gajah, karena jari kelingking akan kalah oleh ibu jari, seperti kita suten dengan orang lain. Jika di udara, tak ada burung, karena sudah banyak ditangkap orang dan dijual. Tak hanya burung. Ada capung yang seperti manusia, berlalu lalang. Begitu pun mobil dan motor, seperti capung dan manusia yang berlalu lalang, masih sama saja. Tak ada yang terlalu berbeda disini.

Semilir angin yang sedikit menggoda telinga dan leherku, yang membuat ku merasa merinding dan bergetar seperti habis kencing. Tak hanya angin yang bersemilir, suara orang yang sedang memalu begitu bising terdengar. Begitu pula mesin gurinda yang sedang merapihakan besi yang habis dilas oleh ahlinya – sangatlah bising. Akibat bising itu, ketika mendengar perkataan teman, harus meminta ulang perkataan itu dengan mengucap,

‘Hah? Apa gak kedengeran’

Pohon yang tinggi dan daunnya yang bergoyang-goyang, seolah menyampaikan pesan angin yang entah pesan dari Tuhan atau pesan dari alam. Tak ada fatamorgana disini, seperti jalan beraspal yang terkena sinar matahari. Hanya ada debu pasir yang terlihat seperti fatamorgana, ketika orang yang berlalu lalang itu. Berjalan diatasnya dan agak menyeret kakinya. Pemandangan yang jauh dari sini, hanyalah Gunung Manglayang yang tinggi dan gagah.

Selasa, 22 September 2015

Terima kasih Bu Dosen.

Momen Idul Adha yang akan jatuh pada hari esok, tentunya memiliki kesan yang berbeda dari momen Idul Adha dari beberapa tahun ke belakang. Selain momen Idul Adha yang kali ini libur kuliahnya berasa long weekend, ada momen lain yang bagiku sangat menyentuh hati dengan rasa penuh toleransi.
Perkuliahan dimulai pada pukul 07 pagi. Keadaan kampus yang sedikit lengang, karena banyak perkuliahan yang diundur sekaligus dipadatkan ke minggu depan, dengan alasan banyak mahasiswanya yang ingin mudik. Untuk urusan masalah ‘merayu’ dosen agar perkuliahan diundur, disini peran humas sangatlah sentral dan vital. Agar kesepakatan bisa dicapai dan mahasiswa merasa bahagia. Alasan dipindahkan jadwal yaitu para mahasiswa ingin merayakan Idul Adha di kampung bersama keluarga.

Perkuliahan hari ini hanya satu mata kuliah saja. Hal ini pun berkat keterampilan humas yang ‘merayu’ dosen, dengan sedikit merengek-rengek – jika memungkinkan air mata pun dibutuhkan.  Mata kuliah kali ini tentang pendidikan IPA di SD. Dosennya non-muslim, tapi aku tidak merasa aneh, toh kita tujuannya ingin belajar – tak perlu mementingkan soal keyakinan - apalagi sampai meributkan – tak dewasa. Dan urusan ibadah itu masing-masing saja.

Kita belajar dengan santai, serta sayup-sayup terdengar gema Takbir dari Masjid yang letaknya cukup jauh dari kampus. Pembelajaran 2 SKS hari ini, seperti lewat begitu saja, mungkin mahasiswa sudah memikirkan tentang ‘pulang kampung dan bertemu keluarga’. Usai pembelajaran pun, dosen menutup pelajaran dengan kalimat,
‘perkuliahan hari ini dicukupkan sekian, mungkin anda pun sudah tidak sabar ingin cepat-cepat pulang kampung’ dengan gesture bercanda
Mahasiswa pun merespon penuh semangat, seperti demonstran yang berdemo di gedung DPR, dengan kalimat,
‘betul bu, hehehe’ tukas mahasiswa
Dosen pun bersiap-siap untuk meninggalkan kelas, karena akan dilanjutkan dengan kelas lain. Dosen itu sambil menggendong tas hitam dan menjinjing totebag berwarna merah marun. Berjalan mendekati pintu. Sebelum dosen itu menginjakkan kakinya keluar, dosen itu berkata :
‘Selamat lebaran ya’ sambil tersenyum.
‘Iya ibu makasih’ jawab mahasiswa disusul dengan teman-temannya.    

Dosen itu keluar. Memang tak ada barang bawaannya yang tertinggal, kecuali ucapannya yang tetap terkenang di pikiranku. Dalam hati aku berkata,
‘Selain dosen ini ramah dan baik pula, beliau pun penuh toleransi juga’

Pikiranku dibuat melting oleh ucapan beliau. Indahnya toleransi, andai semua orang bisa melakukan hal ini dan mau menjunjung toleransi. Toleransi itu tidak terlalu sulit untuk dilakukan, bisa dengan cara menghargai dan dibumbui dengan senyuman. Tak perlu meributkan keyakinan, karena kita sudah mencapai dewasa seutuhnya, bukan dewasa yang kekanak-kanakan.

~ Indahnya Toleransi

Jumat, 04 September 2015

Andaikan


Hari libur. Yang aku maknai dari hari libur itu, seseorang harus melakukan kegiatan yang tentunya berbeda 180 derajat dari rutinitas sehari-hari. Karena kebetulan rumahku dekat Gunung, ya sudahlah hari libur ini aku isi dengan kegiatan ‘menggunung’. Karena ‘menggunung’ ini dadakan, jadi aku pergi sendiri saja, toh disana pasti banyak orang. Entah ke berapa kalinya aku ‘menggunung’ lagi ke Gunung Manglayang. Benar saja, disana banyak orang yang menuju puncak Manglayang. Aku tak tahu motivasi mereka, mungkin saja ada yang ingin mencari kegiatan libur yang berbeda, atau bahkan ada yang ingin menuliskan ‘selamat ulang tahun ya...” dan menuliskan sisiapa tersebut. Ah sudahlah tak perlu dipermasalahkan. Karena yang menjadi permasalahan yaitu, sampah yang sekarang pun kian menggunung. Di perjalanan menuju puncak, banyak sampah permen, puntung roko dan lain-lain.
Mungkin mereka menganggap,
“ah biarin lah, gak akan kelihatan ini”
Dan mungkin, pikirnya sampah bekas permen atau puntung roko, akan terurai dalam sehari. Andaikan gunung punya mata, pasti dia akan menangis, karena orang hanya ‘numpang selewat’ tanpa rasa cinta. Andaikan gunung punya hidung, pasti dia akan merasakan bau tak sedap dari bekas makanan anyir yang tidak dibawa turun kembali. Andaikan gunung punya telinga, pasti dia akan menutupnya, karena tak tega mendengar perkataan manusia yang sombong,
“masa trek gini aja cape”
Dan andaikan gunung punya mulut, pasti dia akan berkata
“Jadi kau lebih memilih menuliskan nama seseorang, ketimbang menuliskan cerita tentang keadaan aku sekarang?”

-Keluh kesah Gunung

Kamis, 03 September 2015

Suara Pagi


Hari sudah pagi dan siap untuk disambut oleh sang mentari, serta awan yang menari-nari. Ayam tetangga berkokok sambil memejamkan mata. Kenapa memejamkan mata? Karena ayam sudah hapal liriknya – itu kata temenku. Tak hanya ayam, kicauan kenari pun ikut ‘bawel’ untuk menyapa mentari, yang detik demi detik mulai meninggi dan tak keliatan malu-malu lagi untuk menampakkan diri. Tak hanya binatang yang bersuara, manusia pun turut serta bersuara dengan nada agak teriak,

“Ayo.. ade, cepetan pake sepatunya. Ibu udah kesiangan..”

“Iya sebentar bu, buku ade ketinggalan di kamar” dengan nada merengek, agar ibunya tak tega untuk meninggalkan anaknya pergi ke sekolah.

Tak hanya manusia, tumbuhan pun tak mau kalah dengan makhluk hidup lainnya yang pagi-pagi sudah bersuara. Tumbuhan ikut larut dalam paduan suara pagi, yang mungkin lumayan harmoni terdengar. Suara dari angin lugu yang menerpa daun-daun pohon bambu, bagai suara Hi Hat pada drum.

Semua bersuara, walau aku tak tahu tangga nada yang tepat untuk semua suara mereka yang terdengar olehku. Karena aku bukan komposer, tapi hanya sebagai penikmat alunan indah semesta yang kian hari kian menua. Lagu dangdut dari sebelah rumah, yang membuat awal pagi menjadi energik dan bergairah. Semuanya seperti improvisasi para musisi handal ketika di panggung musik dan mengekspresikan yang diinginkannya – bebas tanpa batas.

-Salam suara pagi.

Jumat, 26 Juni 2015

Rindu


'Hai’, ‘Hai juga’. Kuharap balasanmu seperti itu. Sudah jarang aku menyapamu lewat sms. Bukan karena kita masing-masing sibuk kerja – lahh -kan masih mahasiswa. Tapi karena aku tak ada pulsa dan mungkin begitu juga dirimu. Kamu di sms tak pernah dibalas. Sekalinya dibalas pun lama, sampai 2 tahun lamanya. Lama menunggu, kamu sms kepadaku dan beralasan ‘Aku gak ada pulsa kalau sms, lewat bbm aja’. Bagaimana mau lewat bbm, hp ku saja tipe kameranya masih VGA. Kalaupun ada bbm tetap saja nanti buat foto profil di bbmnya, kasian gak jelas - buram. Karena hp ku bukan seperti yang kamu punya, yang bisa liat nilai kuliah dengan cepat dan juga bisa dipake buat searching dengan cepat dikala sedang mengerjakan UAS. Begitulah hp canggih. Walaupun banyak media sosial yang sudah bertebaran, tetep saja memiliki kekurangan. Ingin menyapa lewat facebook tapi kamunya juga jarang nongol di laman obrolanku, yang nongol sebagian hanya orang lain saja yang tak aku kenal dan cerobohnya malah aku konfirm sebagai teman. Mau menyapa lewat twitter, takut muncul di timeline orang, nanti dikira umbar kemesraan walau kita belum jadian. Mau menghubungimu dengan surat lewat pak pos, tentunya sangat lama. Dan belum tentu kamu ingin membalasa suratku, kemudian berangkat ke kantor pos terdekat. Jadi harus lewat apa aku hendak menyapamu? Apakah tak ada media yang memudahkan kita dan orang lain untuk saling menyapa? Mungkin nanti ada, tapi entah apa namanya.

Kamis, 16 April 2015

BLEKI namanya




Berbicara tentang sahabat sebenarnya banyak yang bisa dijadikan sahabat baik itu boneka, binatang peliharaan, atau benda-benda yang kita sayangi. Misalnya saja aku bersahabat dengan anjing. Aku suka anjing, tapi bukan berarti aku berniat untuk menjadikan anjing sebagai pacar atau bahkan untuk menjadikan taman sekamar. Anjing adalah sahabat yang baik bagiku,  yang suka membantu pemiliknya untuk menghabiskan makanan sisa, entah itu tulang atau apapun. Walaupun  dalam keyakinan yang ku anut, anjing memang binatang yang dikatakan haram, tapi bukan berarti kita harus membencinya, karena sifat saling benci itu gak boleh dan Tuhan pun menciptakannya pasti ada tujuan tertentu. Kebetulan sekali, aku bertetangga dengan orang yang tidak satu keyakinan denganku, tapi aku tetap menghargai perbedaan keyakinan dengan tetanggaku itu, dan sebaliknya tetanggaku pun menghargai keyakinananku. Kita saling tak mencampuri urusan ibadah, yaa kita ibadah masing-masing saja, asalkan tidak mengganggu. Intinya,  kita saling menghargai. Tetanggaku itu punya anjing, namanya bleki. Kenapa dinamai bleki? Karena dia punya rambut yang berwarna hitam, dengan sedikit rambut yang botak di dua titik dibagian pantatnya. Yang jika dilihat tak ada bedanya seperti orang yang punya dua kucir de kepalanya. Mungkin si Bleki sering menggesekan pantatnya itu ke tembok yang tidak rata karena kutu yang sering hinggap padanya, sehingga botak itu teramat cukup dalam dan akhrinya sulit ditumbuhi rambut lagi, kasian yaa. Awalnya bleki tak kenal aku, dan aku pun malas untuk berkenalan dengan dia. Karena dia tak kenal aku, dia selalu menggonggong disaat melihat aku. Begitupun jika dia melihat orang yang belum dikenal dia akan menggonggong dan mungkin mengejar orang tersebut sampai bleki puas menggigit nya. Walaupun sampai saat ini tidak ada bukti empiris tentang bleki menggigit orang yang dia kejar-kejar. Memang begitu sifat alamiah anjing kepada orang yang belum dikenalnya.
Aku sering memberinya makanan sisa, berupa tulang-tulang ayam yang tak bisa ku makan karena belum dipresto jadinya keras. Setelah aku kasih makan, bleki sudah mengurangi rasa curiga dengan cara tidak menggonggong lagi kepadaku. Dia sudah percaya bahwa aku tetangga sebelah rumahnya. Aku lihat dari jendela, si bleki itu hobinya tidur di depan pagarku sembari menungguku untuk memberikan makan sambil pasang muka memelas nya dansambil berkata dalam hati “aku mau makan, aku mau makan, aku lapar” mungkin begitu yang dikatakannya. Ketika ku membuka pintu,bleki melihatku sambil berdiri tegap dan menyapaku sambil menggerakkan ekornya keatas, berharap dia dikasih makanan lagi olehku. Ketika anjing menggerak-gerakkan ekornya berarti mereka senang.

Tapi, mulai dari sekarang sampai selamanya aku tidak akan pernah lagi lihat bleki nongkrong di depan rumahku untuk menunggu dikasih makan sambil mengerak-gerakan ekornya kalo liat aku bawa piring yang berisi makanan sisa, karena bleki sekarang sudah mati. Tepatnya mati di hari sabtu malam. Kata si pemilik bleki, bleki mati karena ada yang meracuni, hal yang serupa ketika manusia putus cinta, yang sering meracuni dirinya sendiri. Aahh sungguh tindakan bodoh. Dan sekarang ketika di rumah aku merasakan kesepian, karena tak ada lagi gonggongan bleki yang lantang yang bisa membuat aku terbangun dari tidur dan membuatku nongol dari jendela dan berkata “sssttt, bleki, bleki” yang akan membuat bleki diam. Benar-benar merasa sepi. Sering aku berpikir ketika aku makan daging yang kebetulan ada tulangnya ataupun makanan yang lainnya, harus ku kemanakan tulang-tulang ini yang biasanya dimakan bleki? Haru ku kemanakan pula makanan sisa ini yang biasanya dimakan bleki? Tak hanya sang pemilik dan aku yang merasa kehilangan bleki, namun ibuku pun merasakannya. Misalnya saja ketika ibuku mencuci piring yang masih terdapat makanan sisanya, yang sering dikumpulkan di satu plastik kemudian diberikan ke si bleki, ibuku sering bilang “berasa sepi ya kalo gak ada si bleki mah, terus tulang-tulang dan makanan sisa ini harus dikemanakan?” sebenernya sama perasaan yang aku alami antara pemilik si bleki, aku, dan ibuku. Sama-sama memiliki perasaan kehilangan. Tapi sekarang bleki sudah berkumpul dengan anjing-anjing yang telah mati duluan dari bleki, dan mungkin di alam lain bleki pun akan menemui rumah yang selalu memberikannya dia makan, semoga. Yasudah ku akhiri saja cerita ini, semoga kalian tahu apa arti persahabatan dengan binatang itu seperti apa.
Goodbye bleki, stay handsome oke !!