Translate

Selasa, 22 September 2015

Terima kasih Bu Dosen.

Momen Idul Adha yang akan jatuh pada hari esok, tentunya memiliki kesan yang berbeda dari momen Idul Adha dari beberapa tahun ke belakang. Selain momen Idul Adha yang kali ini libur kuliahnya berasa long weekend, ada momen lain yang bagiku sangat menyentuh hati dengan rasa penuh toleransi.
Perkuliahan dimulai pada pukul 07 pagi. Keadaan kampus yang sedikit lengang, karena banyak perkuliahan yang diundur sekaligus dipadatkan ke minggu depan, dengan alasan banyak mahasiswanya yang ingin mudik. Untuk urusan masalah ‘merayu’ dosen agar perkuliahan diundur, disini peran humas sangatlah sentral dan vital. Agar kesepakatan bisa dicapai dan mahasiswa merasa bahagia. Alasan dipindahkan jadwal yaitu para mahasiswa ingin merayakan Idul Adha di kampung bersama keluarga.

Perkuliahan hari ini hanya satu mata kuliah saja. Hal ini pun berkat keterampilan humas yang ‘merayu’ dosen, dengan sedikit merengek-rengek – jika memungkinkan air mata pun dibutuhkan.  Mata kuliah kali ini tentang pendidikan IPA di SD. Dosennya non-muslim, tapi aku tidak merasa aneh, toh kita tujuannya ingin belajar – tak perlu mementingkan soal keyakinan - apalagi sampai meributkan – tak dewasa. Dan urusan ibadah itu masing-masing saja.

Kita belajar dengan santai, serta sayup-sayup terdengar gema Takbir dari Masjid yang letaknya cukup jauh dari kampus. Pembelajaran 2 SKS hari ini, seperti lewat begitu saja, mungkin mahasiswa sudah memikirkan tentang ‘pulang kampung dan bertemu keluarga’. Usai pembelajaran pun, dosen menutup pelajaran dengan kalimat,
‘perkuliahan hari ini dicukupkan sekian, mungkin anda pun sudah tidak sabar ingin cepat-cepat pulang kampung’ dengan gesture bercanda
Mahasiswa pun merespon penuh semangat, seperti demonstran yang berdemo di gedung DPR, dengan kalimat,
‘betul bu, hehehe’ tukas mahasiswa
Dosen pun bersiap-siap untuk meninggalkan kelas, karena akan dilanjutkan dengan kelas lain. Dosen itu sambil menggendong tas hitam dan menjinjing totebag berwarna merah marun. Berjalan mendekati pintu. Sebelum dosen itu menginjakkan kakinya keluar, dosen itu berkata :
‘Selamat lebaran ya’ sambil tersenyum.
‘Iya ibu makasih’ jawab mahasiswa disusul dengan teman-temannya.    

Dosen itu keluar. Memang tak ada barang bawaannya yang tertinggal, kecuali ucapannya yang tetap terkenang di pikiranku. Dalam hati aku berkata,
‘Selain dosen ini ramah dan baik pula, beliau pun penuh toleransi juga’

Pikiranku dibuat melting oleh ucapan beliau. Indahnya toleransi, andai semua orang bisa melakukan hal ini dan mau menjunjung toleransi. Toleransi itu tidak terlalu sulit untuk dilakukan, bisa dengan cara menghargai dan dibumbui dengan senyuman. Tak perlu meributkan keyakinan, karena kita sudah mencapai dewasa seutuhnya, bukan dewasa yang kekanak-kanakan.

~ Indahnya Toleransi

Jumat, 04 September 2015

Andaikan


Hari libur. Yang aku maknai dari hari libur itu, seseorang harus melakukan kegiatan yang tentunya berbeda 180 derajat dari rutinitas sehari-hari. Karena kebetulan rumahku dekat Gunung, ya sudahlah hari libur ini aku isi dengan kegiatan ‘menggunung’. Karena ‘menggunung’ ini dadakan, jadi aku pergi sendiri saja, toh disana pasti banyak orang. Entah ke berapa kalinya aku ‘menggunung’ lagi ke Gunung Manglayang. Benar saja, disana banyak orang yang menuju puncak Manglayang. Aku tak tahu motivasi mereka, mungkin saja ada yang ingin mencari kegiatan libur yang berbeda, atau bahkan ada yang ingin menuliskan ‘selamat ulang tahun ya...” dan menuliskan sisiapa tersebut. Ah sudahlah tak perlu dipermasalahkan. Karena yang menjadi permasalahan yaitu, sampah yang sekarang pun kian menggunung. Di perjalanan menuju puncak, banyak sampah permen, puntung roko dan lain-lain.
Mungkin mereka menganggap,
“ah biarin lah, gak akan kelihatan ini”
Dan mungkin, pikirnya sampah bekas permen atau puntung roko, akan terurai dalam sehari. Andaikan gunung punya mata, pasti dia akan menangis, karena orang hanya ‘numpang selewat’ tanpa rasa cinta. Andaikan gunung punya hidung, pasti dia akan merasakan bau tak sedap dari bekas makanan anyir yang tidak dibawa turun kembali. Andaikan gunung punya telinga, pasti dia akan menutupnya, karena tak tega mendengar perkataan manusia yang sombong,
“masa trek gini aja cape”
Dan andaikan gunung punya mulut, pasti dia akan berkata
“Jadi kau lebih memilih menuliskan nama seseorang, ketimbang menuliskan cerita tentang keadaan aku sekarang?”

-Keluh kesah Gunung

Kamis, 03 September 2015

Suara Pagi


Hari sudah pagi dan siap untuk disambut oleh sang mentari, serta awan yang menari-nari. Ayam tetangga berkokok sambil memejamkan mata. Kenapa memejamkan mata? Karena ayam sudah hapal liriknya – itu kata temenku. Tak hanya ayam, kicauan kenari pun ikut ‘bawel’ untuk menyapa mentari, yang detik demi detik mulai meninggi dan tak keliatan malu-malu lagi untuk menampakkan diri. Tak hanya binatang yang bersuara, manusia pun turut serta bersuara dengan nada agak teriak,

“Ayo.. ade, cepetan pake sepatunya. Ibu udah kesiangan..”

“Iya sebentar bu, buku ade ketinggalan di kamar” dengan nada merengek, agar ibunya tak tega untuk meninggalkan anaknya pergi ke sekolah.

Tak hanya manusia, tumbuhan pun tak mau kalah dengan makhluk hidup lainnya yang pagi-pagi sudah bersuara. Tumbuhan ikut larut dalam paduan suara pagi, yang mungkin lumayan harmoni terdengar. Suara dari angin lugu yang menerpa daun-daun pohon bambu, bagai suara Hi Hat pada drum.

Semua bersuara, walau aku tak tahu tangga nada yang tepat untuk semua suara mereka yang terdengar olehku. Karena aku bukan komposer, tapi hanya sebagai penikmat alunan indah semesta yang kian hari kian menua. Lagu dangdut dari sebelah rumah, yang membuat awal pagi menjadi energik dan bergairah. Semuanya seperti improvisasi para musisi handal ketika di panggung musik dan mengekspresikan yang diinginkannya – bebas tanpa batas.

-Salam suara pagi.