Pada hari itu,
tepatnya pada hari sabtu yang penuh haru biru. Aku, menatapmu, dan benar-benar
tak merasa tertipu. Suasana langit yang biru, kamu mengenakan rok dan kerudung
biru yang lebih muda dari langit biru, kala itu. Rok dan kerudung biru mu itu,
benar-benar membuat hati ini menggebu-gebu. Aku tak tahu, siapa yang yang
saling meniru. Apakah pakaianmu meniru langit biru? Apakah langit biru lah yang
meniru mu? Aku tak tahu akan hal itu. Entah siapa namamu, aku belum tahu. Entah
dimana rumahmu, aku belum tahu. Entah apa film favoritmu, aku tidak tahu. Karena
untuk serba tahu tentang dirimu, aku sangat malu. Bahkan untuk sekedar tahu
namamu, aku benar-benar malu. Apalagi harus tanganku bersalaman dengan
tanganmu. Namun yang aku tahu, bahwa kamu sedang ditatap oleh mataku. Sabtu yang
masih terselimut langit biru, kamu nampak beda dari hari - hari sabtu yang
telah lalu. Yaa penampilanmu. Disini aku menatapmu, yang masih dibalut seragam
baju, layaknya seperti serdadu yang hendak menyerbu. Disaat orang – orang mulai
terbelenggu oleh rasa ambigu, toh aku tidak pernah merasa terganggu oleh rasa
itu. Salut pada sikap dirimu, yang masih diam membisu, meski orang – orang disekitarmu
ricuh seperti arisan ibu – ibu. Dan sikap mu itu, adalah hal yang lucu bagiku. Hatiku
menentu, tapi pikiranku yang tidak menentu. Lama menatapmu, tak membuatku jenuh
dan lesu. Tak ingin cepat – cepat beranjak dari pijakanku. Masih ingin
menatapmu, yang masih duduk di bangku. Semoga kamu, tak menganggap tatapanku,
yang bagai benalu. Tapi yang kamu harus tahu, kelak aku akan selalu rindu
padamu yang serba biru, pada hari sabtu itu. Dan aku bersyukur kala itu, senja tak tega untuk berlalu. Yang menuntun pada waktu, yang akan kelabu.